Friday, September 20, 2013

Jogja, setahun yang lalu

Jogja, Selasa 4 September 2012.

Sore itu aku baru saja pulang dari rumah sakit ke kos biru yang sudah aku tempati sejak awal masuk koas. Ya, waktu itu aku yang masih terhitung koas baru, selepas stase jiwa dan forensik yang terhitung santai, langsung masuk stase anestesi yang lumayan menyita waktu. Aku melangkah pulang dengan santai, tanpa menyadari bahwa hari itu akan menjadi hari yang sangat penting buatku. Kenapa? Karena hari itu terakhir kalinya aku bertemu dengan Bapak.

Bapakku memang sudah lama memiliki penyakit gagal jantung (CHF, karena mitral stenosis kalau nggak salah), dan sebelumnya selalu rutin kontrol di poli jantung terpadu di RS Sardjito. Namun, karena beberapa alasan tertentu, sudah 2 tahun belakangan bapak menjadi tidak rutin lagi kontrol di Sardjito. Saat mulai kontrol lagi, dokter bapak mengatakan harapan satu-satunya adalah dengan operasi, dan merujuk bapak ke RS Harapan Kita.

Jadilah, rencana keberangkatan pun disusun untuk menuju ke Jakarta, berobat sekaligus mengunjungi adikku yang sedang kuliah disana. Selasa sore itu rencananya aku akan ikut mengantar bapak dan ibu ke bandara. Dari Purworejo bapak dan ibu diantar oleh om, tante dan kakak sepupuku, kemudian setelah aku bergabung kami bergegas menuju bandara.

Setelah sampai bandara, ternyata masih ada waktu sekitar 1 jam sebelum boarding, dan kami pun menunggu sambil duduk-duduk di dekat pintu masuk. Saat itu aku merasa sepertinya ibu dan keluargaku yang lain sengaja memberikan kesempatan untuk aku dan bapak berdua. Kami pun berbincang, aku menceritakan pengalaman baruku di rumah sakit, dan bapak mendengarkan sambil sesekali menyelipkan nasihatnya. Terlihat sekali bahwa kondisi fisik bapak sudah sangat lemah, dengan nafas yang pendek-pendek dan wajah yang pucat. Saat kami akan berpisah, entah mengapa aku tak bisa menahan air mata. Aku memeluk bapak, mencium pipinya dan membisikkan ke telinganya, "Bapak, dek Tika sayang banget sama Bapak..."

Bapak pun membalas mencium pipiku di kanan dan kiri, seperti yang selalu beliau lakukan, dan mengatakan, "Bapak juga sayang sekali sama mbak, sama adik dan ibu juga. Sungguh, mbak harus percaya kalau bapak bangga sekali sama mbak..." Terasa ada sesuatu yang membasahi pipiku saat bapak mengecupnya. Ternyata bapak pun menangis, aku semakin tak kuasa menahan tangis. Saat bapak dan ibu sudah melangkah masuk, keluargaku pun mengajakku untuk pulang, sebelumnya kusempatkan menengok lagi ke arah kepergian bapak dan ibu, tetapi aku tak lagi dapat melihat beliau. Dalam hati aku berdoa, semoga bapak dan ibu selamat sampai di Jakarta. Entah kenapa, saat itu aku merasa bahwa pertemuan kali itu mungkin adalah terakhir kalinya aku melihat bapak. Aku menenangkan diri, berharap aku salah. Sayangnya, Allah berkehendak lain.

Setidaknya aku sempat mengatakan pada bapak kalau aku sangat menyayanginya, setidaknya kalimat terakhir yang aku dengar dari beliau adalah bahwa beliau sangat menyayangiku dan bangga padaku.
Bapak, mbak sayang sekali sama bapak.

0 comments:

Post a Comment